Lahan Perhutani di Cibadak Diduga Diperjualbelikan, Bangunan Permanen Menjamur Tanpa Izin

BOGOR, PARLEMENRAKYAT.id – Dugaan praktik ilegal terkait penggunaan lahan milik Perhutani kembali mencuat. Kali ini, lokasi yang disorot berada di wilayah Desa Cibadak, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sejumlah bangunan permanen ditemukan berdiri di atas lahan hutan negara yang semestinya dilindungi.

Pantauan di lapangan memperlihatkan adanya aktivitas pembangunan, bahkan sebagian telah digunakan untuk usaha peternakan dan tempat tinggal. Lebih mengejutkan lagi, menurut keterangan salah satu sumber berinisial Mar, sejumlah lahan tersebut kabarnya telah memiliki surat AJB (Akta Jual Beli)—dokumen yang semestinya tidak berlaku untuk tanah kehutanan.

“Saya melihat sendiri ada bangunan dan kandang ayam besar berdiri di atas lahan Perhutani. Informasinya, lahannya sudah dijual dan bahkan ada AJB-nya,” ujar Mar.

Situasi ini menjadi sorotan, mengingat pendamping hutan di wilayah tersebut adalah Sekretaris Desa, yang juga merangkap sebagai Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Peran ganda ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada kelalaian atau justru pembiaran terhadap aktivitas yang bertentangan dengan fungsi kawasan hutan.

Lebih jauh, berdasarkan data dan temuan di lapangan, lokasi yang dimaksud termasuk kawasan Kampung Ciparingga, di mana terdapat pula sebuah bangunan pondok pesantren yang berdiri di atas tanah rawan longsor. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan jika terjadi bencana alam.

Tanpa Izin Resmi, Terancam Sanksi

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan, seperti peternakan atau pembangunan permanen, harus melalui proses perizinan resmi, seperti skema izin pinjam pakai atau perhutanan sosial. Jika tidak, maka aktivitas tersebut berpotensi melanggar hukum dan dikenai sanksi pidana serta denda administratif.

Hingga kini, belum ada tindakan tegas dari otoritas terkait, termasuk dari KRPH Tinggarjaya, yang disebut kesulitan mengambil langkah karena luasnya bangunan yang telah terlanjur berdiri.

Seruan Penindakan dan Evaluasi Menyeluruh

Dugaan ini mencuat bukan hanya soal bangunan semata, melainkan mengindikasikan adanya potensi keterlibatan oknum aparat desa dalam perizinan dan proses jual beli lahan yang tidak semestinya. Oleh karena itu, masyarakat berharap agar instansi terkait seperti Perhutani, Dinas Kehutanan, dan APH (Aparat Penegak Hukum) segera turun tangan untuk melakukan audit lapangan dan penegakan hukum secara tegas dan transparan.

Isu ini tidak hanya menyangkut persoalan hukum, tetapi juga menyentuh aspek penting seperti keselamatan warga, kelestarian lingkungan, serta integritas tata kelola kawasan hutan di Indonesia.

[TIM/RED]

Pos terkait