LEBAK, PARLEMENRAKYAT.id — Kisruh rekrutmen pegawai di RSUD Labuan dan RSUD Cilograng, Provinsi Banten, kembali menyedot perhatian publik. Proses yang seharusnya membawa harapan justru berubah menjadi luka bagi para tenaga kesehatan yang merasa dipermainkan.
Ibarat sinetron yang tak berkesudahan, polemik ini memunculkan banyak cerita pilu dari pegawai yang sudah lolos seleksi, bahkan sempat bekerja, namun tiba-tiba diberhentikan secara sepihak. Mirisnya, pemecatan dilakukan hanya lewat telepon, tanpa kejelasan prosedur hukum dan etika kerja.
Kritik pedas datang dari berbagai kalangan. Kali ini, suara lantang disampaikan oleh M. Febi Pirmansyah, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Hubungan Antar Lembaga dari Tunas Indonesia Raya (TIDAR) Kabupaten Lebak.
“Kami di TIDAR Lebak sangat kecewa. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah lolos rekrutmen, menandatangani MOU, dan mulai bekerja, tiba-tiba diberhentikan begitu saja? Ini bentuk kesewenang-wenangan yang memalukan!” tegas Febi, Minggu (15/6/2025).
Salah satu kisah memilukan datang dari Iis Nurlina, tenaga kesehatan yang hanya sempat bekerja satu hari di RSUD Labuan sebelum dipecat secara sepihak oleh panitia seleksi — hanya melalui sambungan telepon.
“Beliau bahkan belum genap satu hari kerja, tapi langsung diberhentikan. Ini bukan hanya persoalan teknis rekrutmen, ini mencerminkan rusaknya sistem dan lemahnya empati pemerintah daerah,” tambah Febi dengan nada geram.
Menurut Febi, Pemprov Banten, sebagai penanggung jawab akhir dari proses rekrutmen ini, harus bertanggung jawab atas carut-marut yang terjadi. Ia mendesak agar Gubernur Banten segera turun tangan dan melakukan audit menyeluruh terhadap proses seleksi di RSUD Labuan dan Cilograng.
“Kalau ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap integritas rekrutmen ASN dan tenaga kontrak akan hancur. Ini bukan hanya soal pekerjaan, tapi soal martabat manusia yang diabaikan,” tutupnya.
Hingga berita ini dipublikasikan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak RSUD maupun Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Sementara itu, tekanan publik terus menguat, menuntut keadilan bagi para korban dan transparansi dalam proses rekrutmen.
[JAMALUDIN]