Revitalisasi Pasar Merdeka Bogor Jadi Simbol Gagalnya Tata Kelola Ekonomi Rakyat, Tabrak Arah Astacita Prabowo–Gibran

KOTA BOGOR, PARLEMENRAKYAT.id – Revitalisasi Pasar Merdeka yang digadang sebagai simbol modernisasi ekonomi rakyat kini justru membuka tabir lain: krisis tata kelola publik yang menabrak arah kebijakan ekonomi kerakyatan ala Astacita Prabowo–Gibran.

Alih-alih menghadirkan pemerataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, proyek revitalisasi ini justru memperlihatkan wajah lain dari kebijakan publik — disfungsi kelembagaan, penggusuran halus pedagang kecil, dan privatisasi ruang ekonomi rakyat di bawah legitimasi pembangunan.

Pembangunan Tanpa Nurani

Dalam kerangka Good Governance, revitalisasi pasar seharusnya mengedepankan transparansi, inklusivitas, dan keadilan distributif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Kenaikan biaya sewa tanpa penjelasan, pungutan non-regulatif, hingga monopoli pengelolaan oleh Perumda Pasar Pakuan Jaya menjadi potret nyata bahwa logika komersial kini menggantikan mandat pelayanan publik.

“Pemerintah seolah lupa bahwa pasar rakyat bukan sekadar ruang transaksi, tapi juga ruang hidup masyarakat kecil,” ujar salah satu pedagang yang enggan disebutkan namanya.

PWRI: Ada Distorsi Regulatif dan Konflik Kepentingan

Lembaga Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) menilai proyek revitalisasi Pasar Merdeka telah menyimpang jauh dari semangat pemerataan ekonomi rakyat.
PWRI menegaskan, revitalisasi yang dikendalikan tanpa mekanisme partisipatif ini telah bergeser menjadi instrumen akumulasi kapital bagi segelintir elite birokrasi daerah.

PWRI mendesak Wali Kota Bogor dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk segera melakukan audit kebijakan menyeluruh terhadap proyek ini. Audit tersebut diperlukan untuk menelusuri indikasi penyalahgunaan wewenang, distorsi regulatif, serta potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan aset publik bernilai strategis.

Narasi Legitimatif yang Menutupi Krisis

Pemerintah daerah terus mengulang retorika “pasar modern dan tertib”, namun di balik jargon itu tersembunyi realitas getir: rakyat kecil tersingkir dari ruang ekonomi yang mereka bangun puluhan tahun.

Fenomena ini memperlihatkan praktik exclusionary development — pembangunan yang menyingkirkan rakyat demi kepentingan segelintir pengusaha.

Sikap defensif Perumda Pasar Pakuan Jaya terhadap kritik publik juga memperkuat indikasi krisis legitimasi kelembagaan. Jawaban normatif seperti, “No comment, itu wewenang Perumda pusat,” memperlihatkan absennya tanggung jawab moral dan institusional dalam mengelola aset publik.

Dari Pembangunan ke Represi

Temuan PWRI bahkan menyebut adanya tindakan represi terhadap pedagang yang mencoba bersuara ke media.
Tindakan semacam itu, menurut PWRI, bukan hanya pelanggaran etika birokrasi, melainkan bentuk kemunduran demokrasi ekonomi di tingkat lokal.

“Ketika rakyat kecil mulai takut berbicara, di situlah demokrasi ekonomi mulai mati pelan-pelan,” tegas salah satu pengurus PWRI.

Koreksi Struktural Menjadi Keharusan

PWRI menegaskan, audit kebijakan terhadap proyek revitalisasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan uji moralitas pemerintahan daerah.
Tanpa koreksi struktural, revitalisasi pasar hanya akan memperkuat oligarki ekonomi lokal, memperlebar kesenjangan sosial, dan menegasikan nilai keadilan sosial yang menjadi fondasi Astacita Prabowo–Gibran.

Revitalisasi Pasar Merdeka kini menjadi cermin buram pembangunan daerah: fisiknya megah, tapi jiwanya rapuh.
Ketika modernisasi diagungkan tanpa keadilan sosial, pembangunan kehilangan ruhnya — berubah menjadi kemunduran etis dan struktural dalam tata kelola ekonomi rakyat Kota Bogor.

[ROBI]

Pos terkait