PESAWARAN, PARLEMENRAKYAT.id — Sengketa lahan antara masyarakat adat Desa Halangan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, dengan PTPN I Regional 7 akhirnya sampai ke meja DPRD Provinsi Lampung. Setelah puluhan tahun tanah adat mereka dikuasai perusahaan plat merah itu, kini masyarakat menuntut keadilan yang sudah lama mereka tunggu.
Rabu, 7 Oktober 2025, menjadi hari penting bagi masyarakat Halangan Ratu. Perwakilan adat mereka, yang dipimpin Abu Bakar (Suntan Lama), datang langsung ke Gedung DPRD Provinsi Lampung untuk mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Lampung. Dalam forum tersebut, mereka membawa dokumen bukti kepemilikan tanah yang diklaim PTPN I, termasuk surat pembayaran pajak tanah tahun 1966 dan kesaksian sejarah turun-temurun yang menguatkan bahwa lahan itu milik masyarakat adat.
“Tanah itu bukan tanah perusahaan. Itu tanah adat kami, tempat pemakaman leluhur kami, tempat kami hidup dan menanam sejak zaman nenek moyang,” tegas Abu Bakar sambil memperlihatkan bukti-bukti otentik yang selama ini tersimpan rapih oleh masyarakat.
Tak hanya bukti administrasi, masyarakat juga menghadirkan sejarah hidup yang tertanam di tanah itu — dari umbulan-umbulan (kebun adat) hingga pemakaman leluhur yang menjadi batas wilayah adat antarmarga. Semua menjadi saksi bisu bahwa tanah itu bukan sekadar hektaran lahan, melainkan bagian dari identitas dan harga diri mereka.
Menanggapi paparan tersebut, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Mustika Bahron, menegaskan bahwa DPRD akan turun tangan memediasi sengketa ini agar tidak terus berlarut. “Kami menampung seluruh aspirasi masyarakat adat dan akan segera memfasilitasi pertemuan dengan pihak PTPN I Regional 7. DPRD berkomitmen agar persoalan ini diselesaikan secara adil dan terang benderang,” ujar Mustika.
Namun, di balik pernyataan itu, masyarakat berharap lebih dari sekadar mediasi. Mereka menginginkan keberpihakan nyata DPRD terhadap rakyat kecil yang selama ini merasa tersingkir dari tanah kelahirannya sendiri. Pasalnya, konflik agraria semacam ini sudah menjadi luka lama di banyak daerah, dan terlalu sering berakhir dengan rakyat yang kalah di atas tanahnya sendiri.
Mustika pun mengingatkan agar perjuangan masyarakat tetap berjalan dalam koridor hukum. “Kami minta seluruh pihak tetap tenang dan menempuh jalur hukum. Jangan sampai perjuangan ini dinodai tindakan melanggar aturan,” katanya.
Kini, semua mata tertuju pada DPRD Lampung. Apakah lembaga wakil rakyat ini benar-benar mampu menjadi penengah yang adil dan bukan sekadar penonton di antara rakyat dan korporasi negara?
Harapan masyarakat Halangan Ratu jelas: mereka ingin tanah adat mereka dikembalikan, bukan hanya mediasi tanpa ujung. Mereka menunggu langkah nyata, bukan janji politik yang menguap di udara.
Sengketa ini bukan sekadar soal batas hektaran, tapi soal harga diri, warisan leluhur, dan keadilan yang selama ini tertunda. Jika DPRD dan pemerintah daerah tidak tegas, sejarah akan kembali mencatat — rakyat kecil lagi-lagi dikalahkan di atas tanahnya sendiri.
[ARIYANDI]





