BANDUNG, PARLEMENRAKYAT.id – Gunung Tangkuban Parahu pagi itu bukan sekadar hamparan kabut dan kawah, melainkan titik temu doa-doa dari berbagai penjuru Nusantara. Upacara Adat Ngertakeun Bumi Lamba 2025 kembali digelar, menjadi peristiwa budaya yang tidak hanya memuliakan alam, tetapi juga menghidupkan semangat kebersamaan dalam balutan adat Sunda.
Memasuki tahun ke-17 penyelenggaraan, upacara ini mengusung tema mendalam:
“Ngasuh Ratu, Ngayak Menak, Ngaraksa Mandala, Makuan Nagara.”
Sebuah seruan luhur yang mengajak seluruh anak bangsa untuk mengiringi para pemimpin, membimbing tokoh-tokoh bijak, menjaga kesucian alam dan ruang kehidupan, serta memperkuat fondasi negara secara bersama-sama.
Dari Naskah Kuno ke Ritual Modern
Nama Ngertakeun Bumi Lamba diambil dari bagian awal naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M). Artinya, “mensejahterakan bumi tempat tinggal.” Makna ini diwujudkan dalam sebuah upacara besar yang tidak hanya sakral secara spiritual, tapi juga penuh simbol keberagaman budaya dan nilai gotong royong.
Rangkaian kegiatan dimulai sejak April-Mei 2025, dengan perjalanan para penyelenggara ke berbagai daerah untuk menjalin jejaring budaya. Kemudian, awal Juni, dilakukan prosesi pengambilan air dari berbagai sumber mata air suci yang nantinya akan disatukan dalam prosesi utama. Air-air ini membawa pesan kehidupan, asal-usul, dan doa dari tiap daerah yang berpartisipasi.
Satu Kawah, Seribu Makna
Puncak acara digelar pada Minggu pagi, 22 Juni 2025, dimulai pukul 07.00 WIB. Ribuan peserta dari berbagai suku, agama, bangsa, dan latar belakang berkumpul dalam satu harmoni. Lantunan mantra, musik tradisional, gerak tubuh sakral, serta berbagai bentuk ekspresi seni menjadi bahasa yang menyatukan mereka.
Suasana mencapai puncaknya saat prosesi “ngalung”, yaitu pelemparan persembahan ke dalam kawah Gunung Tangkuban Parahu sebagai simbol syukur dan penghormatan kepada alam dan leluhur.
Pelestarian Budaya, Perayaan Kebhinekaan
Ngertakeun Bumi Lamba bukan hanya ritual tahunan, tetapi telah menjadi simbol pelestarian kebudayaan dan ruang nyata perwujudan kebhinekaan Indonesia. Di sinilah, perbedaan bukan pemisah, tapi penguat. Setiap individu bebas mengekspresikan rasa syukurnya dengan cara yang khas, namun semuanya bertemu dalam satu semangat: menjaga bumi dan merawat hidup.
Upacara ini menjadi pengingat, bahwa kesejahteraan negara tidak hanya dititipkan pada para pemimpinnya, tapi juga menjadi tanggung jawab seluruh rakyat. Seperti tanah yang perlu dirawat bersama, dan air yang mengalir dari berbagai arah namun bermuara di satu samudra.
[Red]