Oleh: Prof. Muhammad M. Said
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & IKA PPSA LEMHANNAS RI
PRANCIS, PARLEMENRAKYAT.id – Laut bukan sekadar bentangan air asin yang memisahkan benua, melainkan jantung dari peradaban baru yang tengah dibangun: peradaban ekonomi biru. Inilah pesan utama yang digaungkan delegasi Indonesia dalam Konferensi Laut PBB ke-3 (UNOC 2025) yang berlangsung di Nice, Prancis, pekan ini.
Dipimpin langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, bersama Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto, serta tokoh-tokoh maritim dan akademisi seperti Prof. Rokhmin Dahuri dan Alin Mus, delegasi Indonesia tampil memukau di forum global tersebut. Mereka hadir bukan hanya membawa data dan diplomasi, tetapi juga semangat transformasi global dari perspektif negara kepulauan.
Indonesia menegaskan kembali identitasnya sebagai negara maritim terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 95.000 km. Melalui semangat Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia menyuarakan pentingnya tata kelola laut yang adil dan berkelanjutan, serta mengingatkan dunia bahwa negara berkembang juga punya hak bersuara dalam panggung kelautan global.
Ekonomi Syariah dan Laut: Menyatukan Etika, Keberlanjutan, dan Keadilan
Salah satu gagasan yang menjadi sorotan adalah penguatan ekonomi biru berbasis nilai-nilai ekonomi syariah. Sistem ini tidak sekadar berbicara keuntungan finansial, tetapi mengusung etika, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan ekologi.
Konsep laut sebagai amanah ilahiyah—bukan sekadar komoditas ekonomi—menjadi kerangka berpikir yang kuat. Dalam Al-Qur’an, prinsip bunyanun marshush menggambarkan kehidupan yang saling menopang, layaknya bangunan kokoh. Jika satu simpul rusak, seluruh sistem terguncang. Maka, pengelolaan laut harus melibatkan pendekatan spiritual dan sosial yang menyeluruh.
Ketika Prof. Rokhmin Dahuri menyerukan akses teknologi, pembiayaan hijau, dan pemberdayaan masyarakat pesisir, itu sejalan dengan spirit Islam: membela kelompok lemah (mustadh’afin) dan membagi kekayaan secara adil.
Laut sebagai Poros Diplomasi dan Kedaulatan
Dalam UNOC 2025, Indonesia juga menghidupkan kembali diplomasi maritim sebagai bagian dari visi besar kedaulatan. Bagi Indonesia, laut adalah ruang hidup, sumber energi, pusat pangan, pariwisata, dan juga panggung diplomasi antarbangsa. Tidak hanya ekonomi, tetapi juga keadilan ekologis dan transformasi sosial.
Lima poin penting yang diangkat Indonesia di forum ini menjadi peta jalan masa depan:
- Perang terhadap IUU Fishing yang merugikan negara-negara pesisir.
- Komitmen memperluas Kawasan Konservasi Laut hingga 30% di tahun 2030.
- Pengurangan polusi plastik lewat ekonomi sirkular dan insentif hijau.
- Penguatan masyarakat pesisir sebagai garda depan pengelolaan laut.
- Dukungan terhadap tata kelola laut yang adil dan mengakui kedaulatan negara.
Menjadi Nakhoda Perubahan Dunia
Forum UNOC 2025 membuktikan bahwa Indonesia tak lagi sekadar negara pesisir yang pasif. Kini, kita tampil sebagai nakhoda perubahan dalam arus besar geopolitik kelautan. Visi Indonesia tak hanya menjadikan laut sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai sumber nilai-nilai luhur: keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan solidaritas global.
Ketika negara maju masih berkutat membangun narasi ekonomi hijau, Indonesia sudah melangkah lebih jauh—menghadirkan model aksi nyata ekonomi biru yang adil, berkelanjutan, dan spiritual.
Ini bukan sekadar diplomasi. Ini adalah refleksi jati diri bangsa maritim yang besar, dan kini siap menjadi pemimpin dalam peradaban laut dunia.
[Kamaludi]