Mahasiswa Bogor Sindir Pemerintah: Jangan Hanya Tegas di Gedung, Tapi Bungkam di Lapangan!

BOGOR, PARLEMENRAKYAT.id — 7 November 2025, Setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menuntaskan sidang etik terhadap lima anggota dewan yang terlibat dalam kisruh politik dan kerusuhan Agustus lalu, gelombang suara dari kalangan mahasiswa pun menguat.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Bogor menilai, putusan MKD kali ini menjadi angin segar di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif—namun mereka menegaskan, pekerjaan rumah bangsa ini belum selesai.

Koordinator Aliansi, Indra Mahfuzhi, menilai MKD telah menunjukkan sikap objektif dengan tidak tunduk pada tekanan opini publik. Dua anggota DPR, Surya Utama (Uya Kuya) dan Adies Kadir, dipulihkan statusnya setelah dinyatakan tidak bersalah secara etik. Bagi mahasiswa, ini adalah sinyal bahwa lembaga etik DPR masih bisa bekerja dengan nalar dan bukti, bukan sekadar mengikuti arus sentimen publik.

“Keputusan ini menegaskan bahwa etika politik tidak boleh dipermainkan oleh opini. MKD telah membuktikan bahwa kebenaran harus berdiri di atas fakta, bukan di bawah tekanan massa,” tegas Indra dalam keterangan resminya.

Namun, pujian itu tidak tanpa catatan. BEM Se-Bogor juga menyambut sanksi nonaktif sementara terhadap Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach, tetapi menyoroti konsekuensi politik dari keputusan itu.
Bagi mereka, penonaktifan anggota dewan bukan hanya urusan internal parlemen, tetapi menyangkut hak representasi rakyat yang mereka wakili.

“Ketika anggota dewan dinonaktifkan, suara rakyat di dapilnya ikut bungkam. DPR harus memastikan, jangan sampai rakyat kehilangan wakilnya hanya karena kelalaian etika elit,” ujarnya tajam.

Lebih jauh, mahasiswa menilai bahwa putusan MKD seharusnya menjadi momentum pembenahan menyeluruh di tubuh DPR RI, bukan sekadar pembersihan simbolik. Reformasi etik tanpa reformasi moral dan transparansi publik, kata Indra, hanyalah kosmetik politik yang tak menyentuh akar persoalan.

“Krisis kepercayaan terhadap DPR tidak lahir dari satu kasus. Ia tumbuh karena kebiasaan diam terhadap pelanggaran, dan budaya cuci tangan saat publik menuntut tanggung jawab,” sindir Indra.

Di luar persoalan etika parlemen, BEM Se-Bogor menegaskan tuntutan yang lebih besar: usut tuntas aktor di balik kerusuhan Agustus 2025 yang mencoreng wajah aksi damai mahasiswa.
Mereka menuding pemerintah lamban dan terkesan menutup mata terhadap dalang sebenarnya di balik kekacauan yang menelan korban dan merusak fasilitas umum.

“Kami tidak butuh kambing hitam. Kami butuh keadilan. Siapa yang menyusup, siapa yang memprovokasi, siapa yang mengarahkan kekerasan—semua harus diungkap tanpa pandang bulu,” tegas Indra lantang.

Menurutnya, publik berhak tahu siapa yang mengacaukan ruang demokrasi mahasiswa dengan kekerasan dan provokasi. “Aksi damai kami bukan panggung politik siapa pun. Jangan ada lagi tangan-tangan gelap yang menunggangi idealisme mahasiswa untuk kepentingan kekuasaan,” tutupnya.

[SURYA]

Pos terkait